
Bandung, Oktober 2025 — Dunia sains merayakan capaian monumental dengan dianugerahkannya Hadiah Nobel Kimia 2025 kepada Prof. Omar M. Yaghi (University of California, Berkeley), Prof. Susumu Kitagawa (Kyoto University), dan Prof. Richard Robson (University of Melbourne) atas kontribusi luar biasa mereka dalam pengembangan Metal–Organic Frameworks (MOFs) — material kristalin berpori yang menjadi tonggak revolusi dalam bidang kimia material modern. Ketiganya berperan penting dalam mengembangkan material berpori berbasis kerangka logam-organik tiga dimensi yang mampu menyerap, memisahkan, dan mengonversi molekul pada skala atomik. Di antara mereka, Prof. Omar M. Yaghi dikenal sebagai penggagas utama konsep kimia retikular (reticular chemistry) — metode sintesis modular yang memungkinkan perancangan material berpori secara presisi atomik dengan kestabilan struktural tinggi.

Invensi monumental Prof. Yaghi adalah penemuan struktur MOF-5 (Zn₄O(BDC)₃) seperti pada Gambar 2, yang memanfaatkan Secondary Building Units (SBU) berupa gugus logam Zn₄O dan ligan benzenedikarboksilat (BDC) sebagai penghubung organik. Struktur ini membentuk jaringan kristalin stabil dengan pori besar dan luas permukaan mencapai 2.900 m² per gram, menjadikannya salah satu material paling berpori yang pernah dibuat. Gambar 2 dari Scientific Background to the Nobel Prize in Chemistry 2025 (The Royal Swedish Academy of Sciences) menggambarkan kerangka MOF-5 dengan ruang berpori besar (berwarna kuning) yang menjadi simbol revolusi dalam penyimpanan gas, katalisis, dan pemurnian udara.
“Sebagai pelopor bidang kimia retikular, Prof. Omar M. Yaghi memperkenalkan kerangka MOF-5 yang memungkinkan rekayasa material berarsitektur molekuler dengan presisi atomik dan kemampuan penyimpanan molekul luar biasa,” tulis Komite Nobel Kimia 2025.
Kolaborasi ITB–UC Berkeley dalam Program World Class Professor (WCP) A 2017
Jauh sebelum penghargaan Nobel tersebut, Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknologi (PPNN) telah menjalin kolaborasi ilmiah dengan Prof. Omar M. Yaghi dalam kerangka program World Class Professor (WCP) A, yang didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia pada tahun 2017. Program ini dipimpin oleh Prof. Ir. Hermawan K. Dipojono sebagai Ketua Pengusul, dengan tujuan memperkuat jejaring riset internasional ITB di bidang material berpori dan nanoteknologi. Kolaborasi ini berawal dari pertemuan Prof. Brian Yuliarto dan Prof. Omar M. Yaghi dalam sebuah seminar internasional, di mana Prof. Yaghi menyampaikan keinginannya untuk bekerja sama dengan peneliti di Indonesia. Menindaklanjuti hal tersebut, Prof. Brian berkoordinasi dengan Prof. Hermawan K. Dipojono yang kemudian mengusulkan agar kerja sama ini diwujudkan melalui skema World Class Professor (WCP) — dengan keyakinan kuat bahwa suatu hari Prof. Omar Yaghi akan menjadi penerima Nobel Laureate. Pada tahun yang sama, Prof. Hermawan K. Dipojono, Prof. Brian Yuliarto, dan beberapa peneliti ITB, yaitu Dr. Aep Patah, Dr. M. Kemal Agusta, dan Dr. Arie Wibowo, bertandang ke University of California, Berkeley (UCB) untuk bertemu langsung dengan Prof. Yaghi.
Prof. Hermawan mengenang kesan pertama pertemuan tersebut:
“Prof. Yaghi menyambut kami dengan sangat hangat. Beliau sosok yang rendah hati dan penuh semangat, bahkan saat itu beliau ingin memperkenalkan kami kepada para ilmuwan hebat di UC Berkeley.”
Sebagai tindak lanjut, Prof. Yaghi mengirimkan orang kepercayaannya, Dr. Kyle Cordova dan Dr. Ha Lac Nguyen, untuk datang ke PPNN ITB pada 23–30 November 2017. Mereka memberikan pelatihan, seminar, dan pendampingan riset selama tiga bulan penuh. Dari kolaborasi ini, berhasil dihasilkan satu publikasi ilmiah internasional bereputasi yang ditulis bersama tim PPNN ITB. Kolaborasi bilateral ini menandai awal hubungan akademik yang erat antara ITB dan UC Berkeley, sekaligus membuka peluang kerja sama jangka panjang di bidang kimia material fungsional dan nanoteknologi.
Keterhubungan Penelitian dan Harapan untuk Masa Depan
Prof. Hermawan mengungkapkan bahwa Prof. Omar M. Yaghi memiliki harapan agar suatu saat dapat berdiri Satellite Laboratory UC Berkeley di Indonesia, yang mampu memberikan kontribusi lebih besar bagi kemajuan riset material dan inovasi di tanah air. Selain itu, Prof. Hermawan juga menyampaikan pandangannya mengenai makna program WCP:
“Program WCP ini menjadi contoh nyata bahwa kita dapat merancang kerja sama dengan ilmuwan kelas dunia, bahkan dengan calon penerima Nobel. Namun, saya menyayangkan karena program WCP sekarang telah keluar dari filosofi awalnya. Saya berharap kolaborasi dengan tim Prof. Omar Yaghi dapat dilanjutkan, khususnya dengan melibatkan para peneliti muda di Indonesia.”
Beliau juga menambahkan,
“Kita harus banyak belajar dari para pemenang Nobel — bahkan dari para kandidatnya — karena dedikasi mereka terhadap ilmu sangat luar biasa. Akan sangat baik jika kampus dan pemerintah dapat memberikan dukungan, terutama dalam pembiayaan, untuk kegiatan semacam ini.”
